MATA BANDUNG - Polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Pasal 169 huruf (q) UU no. 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang berlaku mulai Pemilu tahun 2024 mendatang tidak berhenti. Komentar tentang kejanggalan demi kejanggalan beredar di media social, sejalan dengan yang disampaikan Wakil Ketua MK Saldi Isra, yang dalam putusan ini memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion).
Pakar hukum tata negara Universitas Padajaran (UNPAD) Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D., dihubungi melalui pesan singkat oleh MATA BANDUNG berpendapat bahwa putusan 90 (putusan tentang batas usia capres-cawapres) ini adalah putusan yang semestinya sama dengan putusan di 3 perkara yang lainnya. Dalam beberapa putusan, MK selalu mengatakan bahwa syarat usia merupakan open legal policy.
Penerapan konsep open legal policy pertama kali dilakukan di Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 010/PUU-III/2005. Adapun yang dimaksud dengan open legal policy dengan kata lain adalah kebijakan hukum terbuka, dalam pandangan MK merupakan kebijakan mengenai ketentuan dalam pasal tertentu dalam undang-undang yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang karena tidak diatur secara tegas dalam UUD NRI 1945.
Dalam putusan terdahulu Nomor 22/PUU- XV/2017 menyatakan bahwa, open legal policy dapat dikesampingkan jika open legal policy tersebut melanggar prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yg intolerable.
"... Mahkamah tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali produk legal policy tersebut jelasjelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable...".
Ahli hukum UNPAD tersebut menyatakan bahwa alasan yang digunakan oleh MK dalam putusan 90 tidak cukup membuktikan bahwa open legal policy perlu dikesampingkan.
“Menurut saya pendapat hukum yang digunakan MK tidak cukup membuktikan bahwa open legal policy dapat dikesampingkan,” ujar Prof. Susi Dwi Harijanti.