Tiga Hakim MK Dissenting Opinion, Sementara 5 Hakim Menolak Seluruhnya Gugatan Kubu Paslon 01 dan 03

22 April 2024, 18:36 WIB
Suasana jalannya sidang putusan perselisihan hasil Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (22/4/2024). Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 dan 3, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wpa. /M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO

MATA BANDUNG - Tiga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki dissenting opinion atau pendapat yang berbeda dengan lima hakim MK lainnya tentang keputusan MK yang menolak seluruh permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Pemilu (PHPU) Pilpres 2024 yang diajukan kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, juga dikenal sebagai Cak Imin.

"Terdapat putusan Mahkamah Konstitusi a quo, terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari tiga orang Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat," ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan PHPU Pilpres 2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Gedung MK RI, Jakarta, Senin (22/4).


Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo menyatakan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin, 22 April 2024, bahwa tiga hakim konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat, memiliki pendapat yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi a quo.

Baca Juga: Pengajuan Amicus Curiae ke MK Terus Berdatangan Meski Batas Waktu Telah Lewat

Diputuskan oleh MK bahwa dia berwenang untuk mengadili permohonan a quo; permohonan diajukan dalam batas waktu yang ditetapkan oleh undang-undang; eksepsi termohon mengenai pokok permohonan tidak beralasan secara hukum; dan permohonan pemohon secara keseluruhan tidak beralasan.

"Mengadili: Dalam eksepsi, menolak eksepsi termohon dan pihak terkait untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," Suhartoyo saat membacakan amar putusan.

Pembacaan putusan perkara sengketa yang diajukan Anies-Muhaimin dimulai pukul 09.00 WIB. Sekitar pukul 13.17 WIB, Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan baru.

Sementara itu, salah satu hakim konstitusi yang menyatakan pendapat yang berbeda, Saldi Isra, segera menyampaikan pendapatnya. Dia menyatakan bahwa dua faktor yang memengaruhi pendapatnya berbeda adalah bantuan sosial (bansos) dan keterlibatan aparat negara.

Baca Juga: Jaga Netralitas Hakim Konstitusi, MK Tak Pajang Karangan Bunga untuk Menjaga Suasana Luar Sidang

“Ada dua hal yang membuat saya mengambil haluan untuk berbeda pandangan (dissenting opinion) dengan pendapat mayoritas majelis hakim. Yaitu dalam persoalan mengenai penyaluran dana bantuan sosial yang dianggap menjadi alat untuk memenangkan salah satu peserta pemilu presiden dan wakil presiden,” kata Saldi.

“Dan perihal keterlibatan aparat negara, pejabat negara, atau penyelenggara di sejumlah daerah,” ucapnya menambahkan.

Selain itu, Saldi menyatakan bahwa masalah utama dalam penggunaan dana untuk pemilu adalah bagaimana dana tersebut berasal. Menurutnya, jika dana yang digunakan peserta pemilu berasal dari anggaran negara atau keuangan publik, masalah yang harus dihadapi akan berkali-kali lipat.

Baca Juga: MK Sedang Mengkaji 14 Berkas Amicus Curiae dalam Kasus PHPU Pilpres

Sebab, kata Saldi, penyalahgunaan kekuasaan dapat terjadi ketika uang negara digunakan tidak sesuai dengan peraturan. Dia mengingatkan bahwa uang negara tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi hanya untuk kepentingan umum.

“Tidak sedikit literatur ilmiah dan kajian akademik di bidang politik dan hukum yang mengulas mengenai penggunaan keuangan negara dalam bentuk implementasi program pemerintah yang digunakan sebagai salah satu bentuk strategi memenangkan pemilu, khususnya dalam pemilu yang diikuti petahana (incumbent),” ucap Saldi.

Saldi mengklaim bahwa para petahana akan mendorong pelaksanaan program pemerintah, terutama saat pemilu dekat. Namun, karena tidak ada petahana yang berpartisipasi dalam kontestasi, penyelenggaraan Pemilu 2024 tidak sepenuhnya dapat dikaitkan dengan aspek teoritis dari gagasan cycle keuangan politik.

Baca Juga: Rektor UII Berharap MK Mampu Putuskan Sengketa Pemilu dengan Keberanian Berkeadilan Demi Tegaknya Demokrasi

Saldi menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo memiliki hak untuk memberikan dukungan politik kepada salah satu pasangan calon tertentu, terlepas dari ketidakhadirannya dalam kontestasi Pemilu 2024. Menurut Saldi, ini berarti Jokowi memiliki kesempatan untuk melakukan kampanye dan mendorong pemilih untuk memberikan suaranya kepada pasangan calon yang didukungnya.

Walau bagaimanapun, Saldi menyatakan bahwa dukungan seharusnya diberikan kepada Jokowi dalam kapasitas pribadinya, bukan sebagai presiden yang masih menyelesaikan rencana pemerintahannya.

“Pada titik inilah yang kemudian menjadi sulit untuk menilai tindakan seorang presiden sebelum dan selama penyelenggaraan pemilu,” tutur Saldi.***

Editor: Mia Nurmiarani

Tags

Terkini

Terpopuler