Kampus Memanggil: Guru Besar FSRD ITB Sebut Kampus Harus Melawan Segala Bentuk Tuna Etika dan Ketidakadaban

23 Maret 2024, 23:14 WIB
Kampus Memanggil: Guru Besar FSRD ITB Sebut Kampus Harus Melawan Segala Bentuk Tuna Etika dan Ketidakadaban /Dok. tangkapan layar youtube obrolan meja bundar/

MATA BANDUNG - Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD - ITB), Prof. Dr. Yasraf Amir Piliang, M.A., menyebutkan dalam kondisi negara dan bangsa yang seperti sekarang, Kampus tidak boleh diam. Saat ini tidak banyak kampus yang berani berbicara apalagi menyatakan dirinya sebagai kampus perjuangan seperti yang dinyatakan oleh Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). 

Hal tersebut ia sampaikan dalam sebuah gerakan moral, "Dialog Kebangsaan Guru Besar dan Akademisi Se-Bandung Raya yang bertajuk Kampus Memanggil: Penegakan Konstitusi dan Keadaban Berbangsa" pada Selasa, 19 Maret 2024, di Gedung Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK) UPI.

Menurutnya,  sebuah sistem demokrasi Itu dipercaya dan dapat legitimasi kalau ada integritas dan kejujuran dari penyelenggara negara pemimpin yang bertindak dengan moralitas yang tinggi akan mendapatkan kepercayaan dan legitimasi rakyat, sebaliknya pemimpin dengan moralitas yang rendah tidak dipercaya dan tidak mendapatkan legitimasi rakyat.

Baca Juga: Kampus Memanggil: Guru Besar Farmasi ITB Menuntut Pemerintahan yang Terbentuk Tidak Jalankan Politik Dinasti

"Apa yang kita saksikan sekarang adalah runtuhnya dan hancurnya nilai-nilai budaya dan etika berbangsa dan bernegara ini oleh pemimpinnya sendiri, bahkan oleh calon pemimpin oleh pejabat dan aparat negara yang tidak memiliki integritas dan kejujuran. Akibatnya apa, mereka sesungguhnya tidak lagi dipercaya rakyat, dan tidak lagi memiliki legitimasi," ucap Guru besar yang juga seorang filsuf, pemikir kebudayaan tersebut.

Dalam "Dialog Kebangsaan Guru Besar dan Akademisi Se-Bandung Raya tersebut, Guru Besar FSRD ITB ini membahas enam hal, terkait tidak adanya legitimasi terhadap kekuasaan saat ini. Menurutnya, yang pertama adalah pelanggaran sumpah oleh pejabat negara, termasuk presiden, oknum menteri, DPR, MPR, tentara, polisi, dan aparat negara lainnya. 

"Mengapa saya sebut oknum tentara dan polisi? karena masih banyak tentara dan polisi yang baik. Nah oknum ini yang telah melanggar sumpah, padahal Sumpah itu adalah dimensi Etik yang tinggi," katanya.

Baca Juga: Kampus Memanggil: Guru Besar FPOK UPI Serukan Kaum Intelektual Kawal Penyelenggaraan Negara Berkeadilan Sosial

Aspek kedua adalah pemimpin yang mengingkari mandat dan janji kepada rakyat, yang seharusnya dilaksanakan, namun seringkali dikhianati dan dilanggar.

"Presiden Republik Indonesia ini Melanggar janjinya sendiri dan enteng-enteng saja tidak pernah merasa bersalah bahwa telah melanggar janji, sehingga melanggar janji itu menjadi bagian budaya demokrasi kita," sesalnya.

Aspek ketiga adalah pemimpin yang menghancurkan jati diri bangsa membangun jati diri bangsa merupakan cita- cita bangsa, tapi jati diri bangsa ini. Menurutnya, kini ditutupi oleh topeng-topeng pencitraan dan kepalsuan.

"Kita malu sebagai bangsa bahwa seorang pemimpin at pemimpin mengemas dirinya melalui pencitraan disorot oleh media tetapi sebenarnya untuk menutupi kebuburukan dirinya keculasan, kecurangan dan sebagainya Itu ditutupi melalui pencitrraan ini berbahaya bagi bangsa ke depan," katanya.

Aspek keempat para pemimpin yang meruntuhkan keadapan bangsa. Keadapan adalah manifestasi dari budaya politik yaitu bagaimana seorang pemimpin mengikuti norma-norma publik kesopanan, kesantunan, penghargaan terhadap orang lain, rasa hormat terhadap orang tua, sifat menahan diri.

Baca Juga: Kampus Memanggil: Guru Besar Hukum Unpad Menuntut Penyelidikan Rekayasa Pemilu, Pelanggaran Etik dan Hukum

"Kita malu pada para pendiri bangsa, karena apa yang kita saksikan hari ini adalah runtuhnya keadapan publik, ini digantikan oleh ketidakadapan, sikap tidak sopan, tidak santun, hilangnya rasa hormat, dan respek, sifat culas, licik, curang, dan korup ini oleh pemimpinnya sendiri, bagaimana nanti dengan rakyatnya,"sesalnya.

Aspek kelima adalah hilangnya keteladanan, yang merupakan warisan yang ditinggalkan oleh para pemimpin bangsa tentang kebangsaan, kejujuran, rasa hormat, kesederhanaan, dan jati diri.

"Kita tidak bisa membayangkan akan jadi apa bangsa ini bila keteladanan yang diberikan oleh pemimpin adalah keteladanan yang buruk, keteladanan melanggar undang-undang, melanggar aturan, ketidakadapan di ruang publik, keculasan, kecurangan dan sebagainya. Itu itu adalah keteladanan yang buruk yang diwariskan pada generasi berikutnya," katanya.

Terakhir, hilangnya rasa malu dan rasa bersalah oleh para pemimpin saat melakukan tindakan amoral. Menurutnya, hal ini merupakan masalah serius, yang membahayakan budaya dan etika bangsa. 

Baca Juga: Guru Besar dan Akademisi se-Bandung Raya Gelar Kampus Memanggil: Penegakan Konstitusi dan Keadaban Berbangsa

"Rasa malu merupakan ujian dari integritas dan moralitas malu melakukan tindak moral akan tetapi yang kita saksikan sekarang adalah para pemimpin tidak lagi mempunyai rasa malu dan bersalah. Mereka enteng-enteng saja ketika melanggar hukum, memanipulasi aturan, menyalahgunakan jabatan, melakukan nepotisme akut, bahkan melakukannya dengan gembira. Oleh karena itu, bagian terakhir dari pembicaraan saya untuk menghindari hancurnya tetanan budaya, dan etika bangsa lebih lanjut lebih parah ke depan," tutupnya.

Menurutnya, kampus harus menjadi kampus perjuangan. Perjuangan untuk melawan segala bentuk tuna etika, dan ketidakadapan untuk menyelamatkan bangsa ke depan.

Dalam gerakan Kmapus Memanggi ini tampak sejumlah Guru besar berdiri berdiri di area panggung Gedung FPOK UPI bersama civitas akademika se-Bandung Raya. Mereka yang hadir diantaranya adalahProf. Dr. Cecep Darmawan, Guru Besar Ilmu Politik UPI, Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD - ITB), dan Guru Besar Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung STEI ITB Prof. Ir. Emir Mauludi Husni, M.Sc., Ph.D.

Baca Juga: Lantang! Guru Besar dan Akademisi Bersuara Ketika Posisi Rakyat Tidak Berdaya dan Kepentingan Publik Terancam


Selanjutnya terpantau hadir juga, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Bandung Prof. Ir. A. Harits Nu'man, M.T., Ph.D., IPM., Guru Besar Bidang Ilmu Administrasi Pendidikan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK), Prof. Dr. H. Jaja Jahari, M.Pd., Akademisi Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Prof Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M.


Kemudian para Guru besar lainnya yang terekam membacakan deklarasi adalah Guru Besar Hukum Tata Negara Unpad, Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D., Prof. Amung Ma’mun,M.Pd, Guru Besar Fakultas Farmasi ITB, Prof. Dr. apt. Daryono Hadi Tjahjono, M.Sc.Eng., dan Guru Besar Bidang Ilmu Biologi Universitas Pasundan, Dr. Cartono, M.Pd., M.T.***

 

Editor: Mia Nurmiarani

Sumber: YouTube

Tags

Terkini

Terpopuler