Guru Besar Fikom Unpad: Prihatin, Suara Jujur dari Kampus Direduksi, Dianggap Tidak Penting oleh Pemerintah

- 12 Februari 2024, 16:50 WIB
Prof. Dr. Atwar Bajari, M.Si. Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran (Fikom Unpad) Bandung
Prof. Dr. Atwar Bajari, M.Si. Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran (Fikom Unpad) Bandung /

 

MATA BANDUNG - Prof. Dr. Atwar Bajari, M.Si. Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran (Fikom Unpad) Bandung mengatakan jika kalangan perguruan tinggi sudah berada pada titik bukan hanya kebingungan, tapi juga dalam kegelisahan yang luar biasa menghadapi situasi politik Indonesia. Khususnya ketika saat ini Indonesia sedang menjalani proses demokrasi dalam Pemilihan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (capres - cawapres) 2024. Hal tersebut ia sampaikan dalam aksi Seruan Moral Bela Negara Guru Besar Ilmu Komunikasi se-Indonesia yanng digelar secara daring pada 7 Februari 2024.

Menurutnya, pihak perguruan tinggi sudah mencoba melakukan toleransi, mencoba menerima  kondisi sosial politik yang sedang berlangsung. Tetapi, ketika menjelang kontestasi 2024 terjadi pergerakan-pergerakan yang yang sangat ekstrem.

"Tindakan politisnya secara pribadi bagi saya, itu sudah sangat banal. Sudah sangat vulgar, sudah tidak bisa diterima lagi secara akal sehat, maupun tidak diterima lagi dalam koridor toleransi dalam berdemokrasi," ujar Atwar yang kini menjabat sebagai Wakil Dekan I Fikom Unpad.

Baca Juga: Guru Besar Komunikasi Brawijaya Ingatkan Jokowi Harus jadi Teladan, Berdiri di Atas Kepentingan Semua Golongan

Seruan Moral Bela Negara Guru Besar Ilmu Komunikasi se-Indonesia yanng digelar secara daring pada 7 Februari 2024.
Seruan Moral Bela Negara Guru Besar Ilmu Komunikasi se-Indonesia yanng digelar secara daring pada 7 Februari 2024.

Atwar berpendapat, pemicu kegelisahan kalangan akademisi ada pada Kepala Negara atau Presiden. Tetapi pada sisi yang lain, ada masalah etika yang  tidak diperhitungkan, sehingga muncullah gerakan di mana-mana, termasuk  perguruan tinggi. Sebagian orang kata Atwar, sering menyebut jika Perguruan Tinggi merupakan garda terakhir penjaga etika bernegara dan berdemokrasi.

"Nah kondisi ini menimbulkan dorongan-dorongan yang kuat, yang dimulai dari Bulaksumur, kemudian bergerak ke perguruan tinggi yang lain, dan memunculkan sebuah dorongan dan semangat yang sama, untuk membangun kritik bersama masukan bersama, masukan yang sama, input yang sama, kritik yang sama, terhadap pemerintah dalam rangka menjalankan koridor Kepala Negara," ujar Dosen ilmu Komunikasi yang aktif di berbagai organisasi ini.

Atwar menyampaikan kebingungannya, niat baik dari perguruan tinggi, dari para Guru Besar yang menyampaikan kritik sarannya, ditanggapi sebaliknya oleh pihak pemerintah pusat.

Baca Juga: Guru Besar Komunikasi Brawijaya Ingatkan Jokowi Harus jadi Teladan, Berdiri di Atas Kepentingan Semua Golongan

Prof. Dr. Atwar Bajari, M.Si. Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran (Fikom Unpad) Bandung
Prof. Dr. Atwar Bajari, M.Si. Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran (Fikom Unpad) Bandung

"Niat baik dari perguruan tinggi dari para Guru Besar menyampaikan kritik sarannya dengan penuh etika, dengan bahasa dan narasi-narasi yang masih memegang teguh kesantunan, dan  tidak melakukan gerakan-gerakan yang mendorong gerakan yang masif, tetapi pemerintah, pemerintah dalam hal ini, lewat juru bicaranya, malah membangun narasi setingan, narasi tandingan," kata Atwar Dosen Komunikasi yang menggemari olahraga sepeda ini.

Atwar menyesalkan, niat baik dari para akademisi dan Guru Besar dianggap sebagai bagian dalam rangka kebutuhan elektoral.

Ia merasa prihatin, sikap pemerintah pusat terlihat seperti anti kritik dalam melihat berbagai aksi pernyataan sikap dan gerakan seruan moral dari perguruan tinggi. Seolah-olah, menunjukkan ketidakpercayaan dan ketidaktulusan atas apa yang diperjuangkan oleh para akademisi.

Seperti sedang mereduksi, atau menganggap tidak penting suara-suara yang muncul dari perguruan tinggi, atau suara-suara jujur yang berasal dari kalangan kampus.

Baca Juga: Guru Besar Komunikasi UGM Sebut Mesin Budaya Jangan Cuma Hanya Pemerintah dan Oligarki

"Seharusnya masukan-masukan diterima sebagai sebuah kritik yang baik. Diterima sebagai sebuah upaya untuk membangun kontemplasi dan sekaligus komunikasi di antara pemerintah dengan kalangan perguruan tinggi," kata Atwar.

Namun demikian, meski Atwar menganggap kritik ini sebagai sebuah teguran yang halus, tetapi apa yang disuarakan oleh para akademisi seharusnya menjadi pertimbangan untuk pemerintah atau presiden di dalam mengevaluasi kinerjanya.

"Kita melihat tindakan-tindakan yang sangat banal gitu, misalnya presiden bagi-bagi sembako, dan secara tidak ada lagi keraguan bahwa dia boleh berkampanye. Itu kan sebuah pelanggaran-pelanggaran etis yang tidak bisa ditoleransi dalam menjelang kontestasi 2024," papar Atwar.

Atwar mengungkapkan jika kritik yang disampaikan dari kampus adalah kritik baik. Mengingatkan untuk kembali kepada trek yang seharusnya sebagai kepala negara.

"Tetapi anehnya, malah dibangun dengan narasi tandingan, dan dianggap sebagai elektoral. Sehingga itu akan mereduksi kritik yang baik itu menjadi sesuatu yang dianggap tidak penting," ujar Atwar yang telah menelurkan 4 buku, dua diantaranya buku Metode Penelitian Komunikasi dan Komunikasi Kontekstual ini.

Baca Juga: Guru Besar Komunikasi Unair: Jokowi Contoh Sukses Sistem Demokrasi yang Kini Justru Mencederai Demokrasi

Atwar berpendapat bahwa hal ini merupakan sebuah refleksi yang yang menunjukkan bahwa seolah-olah tidak ada niat baik. Tidak ada keinginan, tidak ada ketulusan, tidak ada upaya keterbukaan, untuk membangun dialektika di antara di antara pimpinan atau kepala negara dengan kalangan akademisi sebagai publik didalam pengelolaan negara yang demokrasi.

"Politik yang berbahaya itu ketika ada politik kepentingan yang sangat kuat. Ketika itu dianggap sebagai sesuatu yang mempengaruhi kepentingannya atau kebutuhannya. Kita jadi semakin semakin percaya bahwa memang Kepala Negara punya kepentingan, sehingga dia melakukan hal-hal yang tidak etis," kata Atwar.

Bagi Atwar, tuduhan bahwa perguruan tinggi dianggap sebagai bagian yang bergabung atau berkoalisi dengan pihak-pihak tertentu, adalah hal yang memprihatinkan.

Baca Juga: Guru Besar Ilmu Komunikasi se-Indonesia Gelar Seruan Moral Bela Negara, Begini Pernyataan Lengkapnya!

"Mungkin entah tujuannya sama, atau mungkin narasi-narasi yang dibangunnya sama. Tetapi Itu bukan sebuah alasan untuk menganggap atau menerima saran-saran yang baik untuk kembali kepada pengelolaan negara yang baik. Mudah-mudahan perguruan tinggi memberikan dorongan moral secara terus-menerus tidak pernah berhenti, tidak ada rasa ketakutan," kata Atwar.

Seperti yang kita ketahui bersama, beberapa perguruan tinggi membuat narasi tandingan yang menyatakan bahwa kondisi demokrasi saat ini dalam kondisi baik-baik saja. Tidak berada dalam kondisi yang sedang berat.

Hal tersebut menurut Atwar, menimbulkan kecemasan baru di tengah upaya  para akademisi memberikan masukan dalam rangka meluruskan Kepala Negara untuk kembali pada trek yang diperlukan dalam membangun kehidupan yang berdemokrasi.***

Editor: Mia Nurmiarani


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x