Suksesi Crazy Rich Asia Pada 2030 akan Berpindah Tangan ke Generasi Pewaris

- 7 Maret 2024, 13:31 WIB
Ilustrasi seorang pria yang sedang menghamburkan uang ke udara.
Ilustrasi seorang pria yang sedang menghamburkan uang ke udara. /Freepik

 

MATA BANDUNG - Firma penasihat kekayaan Campden Wealth dan Raffles Family Office yang berbasis di Singapura melaporkan, pada 2030 sekitar 47 persen keluarga terkaya di Asia-Pasifik akan mewariskan kunci kerajaan mereka pada  generasi berikutnya.

Lembaga penelitian kekayaan Wealth-X dan berbagai survei regional menyebutkan, pada 2030 diperkirakan kekayaan antargenerasi di seluruh Asia senilai US$ 2,5 triliun akan berpindah tangan pada generasi pewaris.

Sementara itu secara global diperkirakan transer kekayaan mencapai US$ 18,3 ttiliun. Jumlah tersebut melebihi PDB tahunan Tiongkok dan lebih dari enam kali lipat kapitalisasi pasar raksasa teknologi AS, Microsoft.

Baca Juga: Perjalanan Doni Salmanan, Dari Kuli Bangunan Hingga Jadi Crazy Rich dan Sekarang Jadi tersangka

Selama ini, disebut-sebut ada penundaan penyerahan kunci kendali bisnis pada generasi berikut, karena keraguan akan adanya perubahan yang dikhawatirkan mempengaruhi kestabilan bisnis. South China Morning Post melaporkan, ada banyak perbedaan pengelolaan dan sifat investasi antara generasi pendahulu dan gerasi sekarang.

Nirvana Chaudhary, keturunan tertua keluarga terkaya di Nepal, menjalankan operasi sehari-hari bisnis besar keluarganya yang mencakup jasa keuangan, pengemasan, dan komunikasi. Namun, ketika menyangkut keputusan besar, dia terikat pada komite investasi keluarga. 

“Percaya atau tidak, ada kalanya saya ingin melakukan banyak hal tetapi komite investasi mengatakan tidak, dan saya harus menghormatinya,” katanya.

Baca Juga: Deretan Crazy Rich Indonesia, Salah Satunya Pernah Bekerja Sebagai Office Boy

Klan Chaudhary, seperti banyak keluarga terkaya di Asia-Pasifik, tahu betul pentingnya memiliki struktur dan aturan untuk memastikan kekayaan mereka bertahan dan berkembang dari generasi ke generasi.

Pengawasan dan keseimbangan yang dilakukan oleh komite investasi dan dewan keluarga Grup Chaudhary memastikan bahwa filosofi bisnis dan sosial yang ditetapkan oleh pendiri dan presidennya – Binod Chaudhary, 68, miliarder pertama dan satu-satunya di Nepal – terus diikuti.

Pedoman ini menentukan tata kelola bisnis yang menyumbang hampir 10 persen – atau sekitar US$3,6 miliar – dari produk domestik bruto Nepal senilai US$40 miliar, serta kepentingan keluarga di negara-negara berkembang lainnya di Asia dan Afrika, dan ekspansi ke AS. , Eropa dan tempat lain.

Struktur seperti ini semakin menjadi sorotan selama dekade penting transfer kekayaan bagi banyak keluarga paling makmur di kawasan ini, ketika para pendiri generasi pertama mulai memasuki usia senja dan rencana suksesi menjadi semakin penting.Baca Juga: Intip Bisnis Sampingan Pemain Persib Bandung, Marc Klok

Perubahan membuat generasi tua ragu dan menunda penyerahan estafet kekuasaan bisnis. Namun, manager-manager yang mengelola kekayaan dan jasa layanan keuangan untuk Asia di perusahaan swasta  mengatakan, bahwa momen estafet kekuasaan bisnis sudah semakin dekat.

Peralihan yang semakin dekat ini akan membuat para pengacara dan manajer kekayaan sibuk dengan penyesuaian strukturisasi yang rumit selama bertahun-tahun. Ahli  waris akan mulai mengklaim hak kesulungan mereka, investasi mengalir ke sektor-sektor baru dan jumlah kantor keluarga di wilayah tersebut meningkat.

Tren di Kalangan Pewaris

Meski pun suksesi dari generasi ke generasi memiliki kasus berbeda-beda, namun Wouter Kneepkens, partner di kantor keluarga Blauwpark Partners di Singapura, mengatakan ada tren umum yang menunjukan berkurangnya minat generasi muda menjalankan bisnis keluarga.

“Generasi pertama akan membangun dan menciptakan kekayaan, generasi kedua akan membangun kekayaan, sedangkan generasi ketiga – yang cenderung paling berpendidikan – sering kali lebih memilih berkarir di luar negeri atau fokus pada sisi investasi atau hal-hal lain,” ujar Kneepkens.

Sebuah pola juga muncul dalam hal investasi. Para pendiri perusahaan keluarga umumnya memiliki uang tunai paling sedikit dan mengembalikan sebagian besar uang tersebut ke perusahaan. Sementara generasi kedua sering bergantung pada bankir swasta. 

Sebaliknya, generasi ketiga cenderung memiliki strategi investasi yang lebih canggih, namun tidak memiliki wewenang untuk melakukan perubahan karena generasi sebelumnya masih memegang kendali.

“Umumnya terdapat kebebasan yang terbatas bagi generasi berikutnya untuk bereksplorasi dan mereka seringkali menunggu generasi yang lebih tua untuk mewariskan atau berhenti,” kata Kneepkens, seraya menambahkan bahwa para ahli waris terkadang kalah suara dari para tetua yang lebih menyukai status quo. meskipun sudah ketinggalan zaman.

Perbedaan lainnya, yang disetujui oleh sebagian besar pengelola keuangan, terletak pada pilihan ahli waris yang lebih muda untuk menginvestasikan uang bisnis keluarga.

Para pemimpin generasi mendatang, yang sebagian besar adalah generasi millenial dan Gen Z, cenderung lebih menyukai investasi keberlanjutan dan investasi yang bertujuan mengatasi perubahan iklim, serta proyek lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan, dibandingkan dengan para pendahulu mereka.

Mereka juga memiliki perspektif yang lebih internasional, menurut Desmond Teo, pemimpin perusahaan keluarga Asia-Pasifik di perusahaan jasa profesional multinasional Ernst & Young Global Ltd.

“Oleh karena itu, mereka mungkin lebih peka terhadap permasalahan global seperti pemanasan global dan kesenjangan sosial,” kata Teo.

“Saat mereka mengambil alih bisnis keluarga atau ketika melakukan investasi, mereka mungkin akan lebih memperhatikan hal-hal seperti kelestarian lingkungan, atau mengadopsi pendekatan filantropi yang lebih kontemporer, seperti investasi berdampak.”

Hal ini berlaku bahkan jika investasi tersebut terbukti memiliki risiko yang lebih tinggi, dengan imbalan yang lebih rendah. Fakta itu tercermin dari survei terhadap investor dengan kekayaan bersih tinggi di Asia-Pasifik yang dilakukan Lombard Odeir pada bulan November 2023.

Teknologi dan Aset Digital

Laporan bisnis keluarga tahun lalu yang diterbitkan oleh grup perbankan swasta Swiss Julius Baer juga mengungkapkan bahwa kelompok ahli waris yang lebih muda memiliki selera risiko yang lebih besar.

“Hampir separuh generasi baru di Asia ingin mengambil risiko yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya, ditambah dengan keinginan untuk menggunakan teknologi dan informasi real-time untuk pengambilan keputusan yang lebih cepat,” kata Christos Anagnostopoulos, kepala penasihat layanan kantor keluarga Julius Baer di Singapura.

Para pewaris muda ini juga tidak menghindar dari instrumen keuangan modern atau investasi berkelanjutan yang lebih baru, tambah Anagnostopoulos.

Survei Lombard Odeir menemukan bahwa generasi muda tidak hanya lebih tertarik pada aset digital, namun juga mempertimbangkan investasi pada aset dan bisnis swasta – termasuk perusahaan rintisan (start-up) – dibandingkan dengan perusahaan tercatat.

Sebuah studi yang dilakukan Bank of America pada tahun 2022 menemukan bahwa 75 persen investor kaya berusia antara 21 dan 42 tahun, dibandingkan 32 persen investor di atas usia 43 tahun, berpendapat bahwa tidak mungkin mencapai keuntungan di atas rata-rata hanya dengan saham tradisional dan obligasi. 

Sebaliknya, mereka akan cenderung mencari alternatif, seperti dana lindung nilai dan ekuitas swasta, dan kelas aset yang lebih baru seperti mata uang kripto, jika dibandingkan dengan pendahulunya yang masuk generasi baby boomer. Demikian temuan analisis lain yang disebutkan RBC Wealth Management.

Kneepkens dari Blauwpark Partners mengatakan generasi muda telah belajar untuk berhati-hati dalam mempekerjakan konsultan yang haus biaya sebagai penasihat luar. Sebaliknya, mereka menghargai reputasi dan menyaring penyedia jasa keuangan dan penasihatnya dengan hati-hati.

Akibatnya, mereka menjadi lebih waspada terhadap siapa yang akan mereka pekerjakan sebagai penasihat, kata Ai Ling Toh, manajer hubungan RBC Wealth Management yang berbasis di Singapura, dalam sebuah analisis tahun lalu.

“Orang tua mereka biasanya meminta saya untuk memberikan materi penelitian kepada mereka, namun kaum milenial datang kepada saya dengan materi di tangan,” ujar Toh.

“Orang tua mereka mempercayai kami sepenuhnya dan tidak memerlukan opini kedua mengenai apa pun itu. Generasi Milenial masih baru dalam hal ini, jadi mereka ingin melihat-lihat dan memastikan bahwa mereka mengetahui hal yang sama seperti kita.”

Ahli waris milenial juga akan mencari banyak informasi di platform perdagangan online yang menyediakan laporan gratis.

“Itu sangat berbeda. Dulu orang tua mereka meminta saya memberikan bahan penelitian untuk mereka, tapi generasi milenial datang kepada saya dengan membawa bahan,” sebutnya.***

 

Editor: Arief TE

Sumber: South China Morning Post


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x