"Tapi sekarang ada ribuan akademisi, bahkan mungkin juga ratusan Profesor. Kalau dihitung semuanya dari 50-an perguruan tinggi se-Indonesia. ini bukan main-main. ini bukan karena mobilisasi. Bukan. Ini murni karena keprihatinan bersama," ujar Henri.
Dikatakan Henri, itulah mengapa pemerintah harus mendengarkan para akademisi, yang setiap saat mengajar tentang etika, mengajar tentang ilmu pengetahuan.
"Kami mengajar etika sebagai bagian dari filsafat ada epistemologi, ada estetika, ada etika. Kami mengajar etika lalu etika diinjak-injak, tentu saja kami ingin mengingatkan," tegasnya.
Sama dengan sejak zaman sejarah dulu, ata Henri, setiap ada kekuasaan, selalu ada pendeta, selalu ada orang-orang yang belajar tentang keagamaan atau etika mengingatkan kekuasaan.
"Kami melakukan itu, ini enggak ada hubungannya dengan dengan electrolate, ataupun hubungannya dengan survei turun atau naik. Enggak ada hubungannya! Mau ada yang naik, ada yang turun, itu bukan urusan aktivis kampus atau perguruan tinggi, akademisi, itu urusan politisi," tegasnya.
"Bagi kami adalah ketika ada pelanggaran moral, ketika ada pelanggaran etika, dilakukan oleh penguasa, maka sudah menjadi tanggung jawab dari kita untuk mengingatkan mereka," kata Henri.
Lebih lanjut Henri mengatakan suara yang sekarang di digaungkan di kampus-kampus, termasuk dirinya sendiri, sebenarnya sudah lama.
"Secara pribadi saya sudah menyuarakan itu, kendati kadang-kadang saya merasa kesepian, menjadi semacam mencari teman. Nampaknya sekarang teman saya banyak, ada ratusan bahkan mungkin ribuan, dan itu adalah the significant number of people, orang-orang khusus yang punya atentif punya atensi, punya punya moralitas yang menjaga negeri ini," kata Henri.