Kontroversi Pernyataan Kuliah sebagai Kebutuhan Tersier? Simak Tanggapan Panas dari DPR RI!

23 Mei 2024, 09:00 WIB
Suasana rapat kerja Komisi X di Gedung DPR, 21 Mei 2024. /Pikiran Rakyat/Oktaviani/

 

MATA BANDUNG - Pernyataan kontroversial mengenai pendidikan tinggi atau kuliah sebagai kebutuhan tersier kembali memicu perdebatan dalam sebuah rapat kerja yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Jakarta. Anggota Komisi X DPR RI, Nuroji, menyatakan bahwa pemahaman ini perlu segera dikoreksi agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat Indonesia.

"Ini saya rasa perlu dikoreksi," tegas Nuroji dalam rapat kerja yang dihadiri oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim.

Nuroji mengungkapkan kekhawatirannya bahwa pernyataan ini dapat memberikan gambaran yang salah, seolah-olah pendidikan tinggi bukanlah sesuatu yang penting untuk ditempuh. Padahal, pendidikan tinggi memainkan peran krusial dalam pengembangan diri dan peningkatan kualitas hidup setiap warga negara.

Baca Juga: Pernyataan Forum Pimred PRMN: Kawal PPDB, Hadirkan Pendidikan Tanpa Kecurangan dan Diskriminasi

Pernyataan ini disampaikan sebagai respons terhadap pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie, yang mengklasifikasikan perguruan tinggi sebagai kebutuhan tersier sehingga dianggap hanya sebagai pilihan.


Nuroji menekankan bahwa pernyataan tersebut bertentangan dengan semangat UUD 1945 yang mewajibkan negara untuk memberikan pendidikan kepada setiap warga negara. Ia merujuk pada Pasal 28 ayat C UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, termasuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya.

"Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara yang harus dipenuhi oleh negara, bukan hanya sekadar pilihan," tegas Nuroji.

Baca Juga: Kehadirannya Kian Meresahkan Masyarakat, Pikiran Rakyat Mengganti Diksi Pinjol Jadi Rentenir Online

Klarifikasi dari Kemendikbudristek


Sebelumnya, dalam sebuah acara Taklimat Media tentang Penetapan Tarif UKT di Lingkungan Perguruan Tinggi Negeri di Kantor Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie menyebutkan bahwa perguruan tinggi dikategorikan sebagai pendidikan tersier atau "tertiary education." Menurut Tjitjik, pendidikan tinggi tidak termasuk dalam program wajib belajar 12 tahun yang mencakup SD, SMP, dan SMA, melainkan merupakan pilihan.

"Pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar," ujar Tjitjik. "Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK, itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan. Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib," tambahnya.


Pernyataan ini menuai berbagai reaksi dari berbagai kalangan. Banyak yang merasa bahwa pendidikan tinggi seharusnya tidak dianggap sebagai kebutuhan tersier karena memiliki peran penting dalam mencetak sumber daya manusia yang berkualitas.

Baca Juga: Pemerintah Kembali Mengadakan Program UKT Untuk Meringankan Beban Mahasiswa

Nuroji berharap agar pihak Kemendikbudristek dapat memberikan klarifikasi yang lebih jelas dan mendorong pemahaman bahwa pendidikan tinggi adalah bagian integral dari pengembangan diri dan kesejahteraan masyarakat.

"Kami berharap pernyataan ini dapat segera diluruskan sehingga tidak ada lagi kesalahpahaman di masyarakat mengenai pentingnya pendidikan tinggi," pungkas Nuroji.

Dalam suasana diskusi yang cukup tegang, komitmen untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan tinggi tetap menjadi fokus utama. Diharapkan, dengan adanya koreksi dan penjelasan lebih lanjut, masyarakat dapat memahami pentingnya pendidikan tinggi sebagai salah satu pilar utama dalam pembangunan nasional.***

Editor: Mia Nurmiarani

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler