Akademisi UGM Sampaikan Petisi Bulaksumur kepada Jokowi, Ingatkan Soal Penyimpangan Moral Demokrasi Kerakyatan

2 Februari 2024, 10:31 WIB
Akademisi UGM Sampaikan Petisi Bulaksumur kepada Jokowi, Ingatkan Soal Penyimpangan Moral Demokrasi Kerakyatan /Dok. ugm.ac.id/

 

MATA BANDUNG - Merespon situasi politik terkini dalam menghadapi hajat pemilihan umum Presiden Repubik Indonesia, segenap civitas akademika dan Guru Besar Universitas Gadjah Mada menyatakan keprihatinannya atas dinamika perpolitikan nasional dan pelanggaran prinsip demokrasi menjelang pemilu 2024 dan memberikan pernyataan sikap melalui Petisi Bulaksumur.

Bertempat di Balairung Gedung Pusat UGM, Rabu 31 januari 2024, Prof. Dr. Koentjoro, Ph.D., Guru Besar Fakultas Psikologi, ditemani oleh puluhan guru besar, akademisi, alumni, dan aktivis BEM KM UGM, membacakan petisi ini.

"Kami civitas akademika Universitas Gajah Mada setelah mencermati dinamika yang terjadi dalam perpolitikan nasional selama beberapa waktu terakhir. Sekaligus mengingat dan memperhatikan nilai-nilai Pancasila serta jadi diri universitas Gajah Mada, dengan ini menyampaikan keperhatinan yang mendalam terhadap tindakan sejumlah penyelenggara negara di berbagai Lini dan tingkat yang menyimpang dari prinsip-prinsip moral demokrasi kerakyatan dan keadilan sosial," kata Koentjoro yang menjabat sebagai Guru Besar Fakultas Psikologi UGM ini.

Baca Juga: Jokowi Sebut Presiden Boleh Dukung Capres, Pakar Hukum Tata Negara: Pasal Itu Tidak Berlaku, Cek Penjelasannya


Koentjoro menyatakan bahwa petisi yang diajukan oleh segenap civitas akademika Universitas Gadjah Mada adalah didasarkan pada perkembangan dinamika yang terjadi dalam perpolitikan nasional selama beberapa waktu terakhir. Dinamika terkini yang berkembang menunjukkan tindakan beberapa penyelenggara negara yang menyimpang dari prinsip-prinsip moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial.

"Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi pada masa pemerintahan Presiden Jokowi yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gajah Mada atau UGM," ujar Koentjoro dalam petisi Bulak Sumur yang Ia bacakan.

"Pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, keterlibatan sejumlah aparat penegak hukum dalam berbagai demokrasi perwakilan yang sedang berjalan, dan pernyataan kontradiktif, pembenaran-pembenaran Presiden tentang Keterlibatan kebijak pejabat publik dalam kampanye politik serta netralitas dan keterpihakan merupakan wujud penyimpangan dan ketidakpedulian akan prinsip demokrasi," tambah Koentjoro di mimbar akademis yang dihadiri para guru besar UGM dan segenap dosen.

Baca Juga: Putusan Batas Usia Capres-Cawapres, Pakar Hukum Tata Negara UNPAD : Seharusnya dari Awal MK Menolak Permohonan

“Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang juga merupakan bagian dari Keluarga Besar Universitas Gadjah Mada. Pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, keterlibatan sejumlah aparat penegak hukum dalam proses demokrasi perwakilan yang sedang berjalan dan pernyataan kontradiktif Presiden tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik antara netralitas dan keberpihakan merupakan wujud penyimpangan dan ketidakpedulian akan prinsip demokrasi,” ungkap Guru Besar Psikologi lulusan pendidikan di S3 Social Work & Social Policy, LaTrobe, Australia tersebut.

Dalam mimbar akademis tersebut, Koentjoro mengingatkan Presiden Joko Widodo, sebagai alumni UGM, dia harus mempertahankan jati diri universitas tersebut, yaitu mempertahankan nilai-nilai Pancasila dan mendorong demokratisasi untuk mencapai tujuan pembentukan pemerintahan yang sah dengan standar moral yang tinggi.

“Hal itu demi melanjutkan estafet kepemimpinan untuk mewujudkan cita-cita luhur sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,” kata Guru Besar yang sempat mengenyam pendidikan di S2 Behavior Science, LaTrobe, Australia.

Sebelum petisi Bulaksumur dibacakan, sejumlah akademisi menyampaikan orasi dalam sebuah mimbar akademik berjudul Menjaga Kemurnian Demokrasi Indonesia.

Baca Juga: Guru Besar Komunikasi UNPAD Soal Debat Cawapres: Jangan Banyak Gimmick Gak Penting, Apalagi Merendahkan Lawan

Adapun civitas akademika yang menyampaikan orasinya termasuk diantaranya adalah mantan Rektor UGM periode 2002-2007 Prof. Dr. Sofian Effendi, MPIA., Mantan Rektor UGM periode 2017-2022 Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., Guru Besar FKKMK UGM Prof.Yati Soenarto, Dosen Hukum Tata Negara FH UGM Dr. Zainal Arifin Mochtar, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM Dr. Abdul Gaffar Karim serta Ketua BEM KM UGM Gielbran Muhammad Noor.

Selanjutnya, Panut Mulyono menyatakan bahwa sebagai bagian dari sistem demokrasi saat ini, pemilu harus tetap menggunakan asas luber dan jurdil untuk memilih calon pemimpin legislatif dan eksekutif.

“Jika kita betul-betul melaksanakan asas pemilu dengan baik maka terpilih pemimpin yang legitimate yang betul-betul memikirkan rakyat dan bisa membawa kemajuan yang luar biasa,”katanya.

Untuk menjaga kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan, Ia juga mengingatkan bahwa prinsip pemilu ini harus diterapkan oleh seluruh penyelenggara negara, termasuk TNI, POLRI, dan ASN.

Baca Juga: Guru Besar Komunikasi UNPAD: Paslon No 1 dan 3 Miliki Kemampuan Komunikasi yang Baik, Lugas, Logika Terjaga


“Kita ingin rakyat yang terdaftar sebagai pemilih saat datang ke TPS dengan hati riang dan gembira menggunakan hak pilihnya sesuai dengan hati nurani,” tegasnya.

Kemudian Abdul Gaffar Karim menyatakan bahwa meskipun kedua negara saat ini menganut sistem demokrasi, pemilu di Amerika Serikat dianggap lebih demokratis dibandingkan di Indonesia. Dia berpendapat bahwa hal itu disebabkan oleh fakta bahwa oposisi dan masyarakat sivil di Amerika Serikat memiliki kekuatan yang jauh lebih besar untuk mengontrol dan mengawasi proses pemerintahan.

Menurut Abdul Gaffar Karim, meskipun kedua negara saat ini memiliki sistem demokrasi, pemilu di negara Amerika Serikat dianggap lebih demokratis dibandingkan dengan pemilu Indonesia. Dia berpendapat bahwa hal itu disebabkan oleh kekuatan untuk mengontrol dan mengawasi proses pemerintahan yang lebih besar yang dimiliki masyarakat sipil dan oposisi di Amerika Serikat.

“Demokrasi akan lebih baik jika ada oposisi dan civil society yang kuat, namun dalam sepuluh tahun terakhir oposisi kita justru hilang,” ujarnya.

Selain itu, ia meminta para pembicara di mimbar untuk mengembalikan kekuatan masyarakat sipil untuk melindungi demokrasi negara mereka.

“Mari kita kembalikan civil society untuk mengawasi kekuasaan. Demokrasi bisa hidup jika rakyat bisa mengawasi dan mengawal,” harapnya.***

Editor: Mia Nurmiarani

Sumber: ugm.ac.id YouTube UGM Online

Tags

Terkini

Terpopuler